Menu

Mode Gelap
LSM Trinusa Desak KPK Segera Umumkan Tersangka Korupsi Cakada Bekasi Semua Bisa Umroh Jalin Kolaborasi Untuk Baitullah Dengan Lembaga Amil Zakat Serap Aspirasi Masyarakat Hj. Nur Azizah Tamhid Gelar Diskusi Publik Hubungan Pusat Dan Daerah Camat Purwokerto Timur Targetkan Imunisasi 95 Persen Antisipasi KLB Polio cVDPV2 Solidaritas Seribu Pemuda Kota Bekasi Akan Hadiri Orasi Politik Caleg Afrizal dan Romi Bareno

Pilkada · 17 Sep 2024 09:05 WIB ·

Apa Fungsimu Parpol Koalisi Gemuk?


 Apa Fungsimu Parpol Koalisi Gemuk? Perbesar

Oleh : Suradi Al Karim

Seorang rekan mengatakan kepada saya bahwa peristiwa sejumlah parpol di parleman yang semula deklarasi untuk mengusung satu paslon tiba-tiba balik haluan ikut mengusung paslon Sadewo-Lintari adalah sebuah kebetulan, kesungguhan atau jadi jadian dan kepura-puraan.

Lebih berisik lagi, diluar koalisi gemuk saling curiga, bahkan masya Allah, ada opini publik dan karakteristik opini berseliweran bukan bentuk ekspresi dalam rangka realisasi demokrasi Pancasila.

Ini benar-benar wajah buram sejumlah parpol di Banyumas. Betapa tidak, peristiwa ini terjadi di Banyumas tempat lahirnya tokoh bangsa dan sejarawan di republik ini abad demokrasi dan HAM.

“Saya mengatakan, ini bukan taragedi, tapi ironi. Kita bukan lagi sedih dan pilu. Jauh lebih
dalam dari itu, kita bukan bangga dengan paslon tunggal, tapi kita malu dengan kotak kosong,
dan bla-bla lainnya,”

Adalah hak setiap orang untuk tidak suka, bahkan benci, kepada kotak kosong. Tetapi mestinya
ketidaksukaan dan kebencian tersebut tidak diekspresikan dengan menyeret sesesorang bermain di belakang layar.

Dan kalau perlu dijumlahkan alasan-alasanya itu : apakah sepuluh ribu, seratus ribu, bahkan dua ratus ribu orang. Kampanyekan semua itu kepada warga agar tidak memilih kotak kosong. Misalnya, rasa tidak suka mestinya yang argumentatif, intelektual, dan berbudaya. Bukan saling hasut karena hanya melawan kotak kosong.

Parpol Macan Ompong!

Sungguh, ada benarnya cerita dari rekan saya di atas, lebih baik kita tidak usah bicara Pilkada Banyumas lagi. Memang apa gunanya Pilkada, kalaulah hanya melawan kotak kosong menyertai ketakutan.

Bukankah Pilkada itu sendiri dimaksudkan sebagai jalan keluar agar persolan kemelut
politik yang ada diselesaikan dengan cara demokratis? Jadi, paslon tunggal dengan kotak kosong adalah bertentangan secara diametral. Itu sebuah kontardiksi yang luar biasa.

Berhadapan dengan kotak kosong terpotret parpol justeru seperti bingung sendiri dalam menggunakan fungsinya, maka pesan politik itu tidak sampai ke konstituen masing-masing, atau pesan politik itu tidak sampai dari satu bagian ke bagian lain dari sistem politik.

Disaat bersamaan banyak warga non parpol yang berteriak kenapa ada kotak kosong? anehnya, tidak
menjadi perhatian parpol yang baru saja ikut bergabung mengusung paslon Sadewo-Lintarti.

“Saya harus menyoroti ini bukan tanpa alasan, dan memang tidak punya kepentingan tetapi punya
kewajiban mengigatkan parpol yang justeru lebih tidak mau tahu, ketimbang menjalankan fungsinya dengan mendasarkan diri pada informasi yang diberikan kepada mereka lalu
dikomunikasikan di antara mereka dan dengan unsur-unsur lain dalam sistem politik,”

Paslon tunggal di Pilkada Banyumas adalah anomali karena jumlah pemilih di atas satu juta. Disamping itu parpol juga banyak, ada tapi seoalah-olah tiada (mana eksistensimu). Mestinya, parpol yang berfungsi salah satunya adalah fungsi rekrutmen politik menunjukkan eksistesi dengan mengusung kadernya sendiri, sekaligus untuk menguji daya tarung mesin parpol melalui kerja pemenangan dan pengawalan suara calon yang diusung.

Paslon Tunggal Tidak Mematikan Demokrasi!

Adalah tak terbantahkan bahwa calon tunggal terjadi di Kabupaten Banyumas akibat ulah pragmatisme parpol itu sendiri (oportunistik). Selain sudah gagal sejak awal untuk menyiapkan kader handal, alasan biaya besar untuk kerja pemenangan (pragmatis ajalah). Olehnya, lebih baik bergabung dengan paslon Sadewo-Lintarti dengan elektabilitasnya yang meroket setinggi Gunung Selamet.

Sampai disini, ada sejumlah pertanyaan unik. Kenapa tidak dari awal membangun kompromi untuk mengusung calon tunggal? siapa yang bisa menerjemahkan artikulasi kepentingan parpol
yang diwujudkan dengan mengusung paslon tunggal? Apakah mengusung calon tunggal adalah sama dan sejalan dengan kehendak konstituen mereka? ataukah sebaliknya.

Disinilah saya perlu kritisi dan koreksi parpol yang bergabung tidak dari awal. Jangan-jangan sepahaman saya hanya sesama elite, tetapi tidak sepahaman dengan konstiuen, akibatnya mereka mencoblos kotak kosong yang tersedia di surat suara.

“Karena sangat berbeda pilihan politik atas pilihan parpol. Ingat, kesepahaman struktur elit parpol itu juga berbeda. Sebab, pimpinan parpol yang baru bergabung saya masih ragu menegasikan aspirasi dan suara pemilih untuk paslon tunggal,”

Jika parpol diibaratkan sebagai organ tubuh, ia menandai hati bagi demokrasi. Dalam sebuah
hadits dikatakan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya:

“Ada segumpal daging dalam diri
manusia, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh tubuhnya, sebaliknya jika segumpal daging itu buruk maka buruk pula semua tubuh itu”.

Itulah perumpamaan posisi parpol di dalam demokrasi, menentukan arah demokrasi ingin berlabuh di daratan mana? apakah di daratan kemaslahatan umat atau di daratan kekuasaan
yang kolot? padahal sejatinya demokrasi yang menjadi dasar berpijak partai politik selalu menginginkan kebaikan pada mayoritas warga bukan hanya segeleintir elit saja.

Para pimpinan parpol yang sejak awal tidak bergabung, segera mendisiplinkan konstituennya. Tidak bisa lagi duduk ongkang-ongkang dengan seragam safarinya, atau sekedar membuat berita di media tertentu, dan setelah itu planga-plongo.

Kini, akar rumput harus benar-benar di manage, dipantau, dan diarahkan. Itulah sebabanya mengapa dalam bahasa Inggris pemimpin itu disebut leader, yang berasal dari kata to lead yang artinya mengarahkan atau mempengaruhi konstituenya sehingga mengikutinya.

Pemimpin tidak boleh ikut massa, tetapi massa lah yang harus dibuat sedemikian rupa sehingga mengikuti pimpinannya. Pemimpin adalah lokomotif, bukan gerbong. Gerbong mengikuti lokomotif, bukan sebaliknya : lokomotif kok mengikuti gerbong.

Artinya, pimpinan parpol
punya kewajiban dan tanggungjawab memenangkan paslon tunggal. Jika sebaliknya, maka benar adanya bahwa koalisi adalah jadi-jadian dan kepura-puraan. Bukankah demikian?
Wallahu a’lam..

Penulis : Penasihat MD KAHMI Banyumas,
Panasehat DPC Peradi Purwokerto, dan
Fungsionaris LBH AP PDM Kabupaten Banyumas

Artikel ini telah dibaca 67 kali

badge-check

Penulis

Komentar ditutup.

Baca Lainnya

Dugaan Money Politic Relawan Gotri Dilaporkan

2 Desember 2024 - 20:01 WIB

Pengamat Sebut Penyebab Suara Tri Adhianto Mandeg, Efek Warga Bekasi Trauma Kasus Korupsi

28 November 2024 - 16:23 WIB

Bekasi Darurat Korupsi, Butuh Wali Kota yang Bersih Jangan Sampai Hattrick

16 November 2024 - 12:40 WIB

Didukung Ulama dan Tokoh Jakarta, Ridwan Kamil – Suswono Teken Pakta Integritas

16 November 2024 - 07:35 WIB

Dua Tahun Kepemimpinan Tri Adhianto Carut Marut, Yakin Bisa Wujudkan Pemerintahan Bersih dari Korupsi?

8 November 2024 - 18:16 WIB

FBR Perintahkan Anggotanya Turun Ke Masyarakat Naikkan Elektabilitas Calon Wali Kota Bekasi Heri – Sholihin

28 Oktober 2024 - 11:13 WIB

Trending di Pilkada