SILUMANEWS.COM – Banyumas – Mengedepankan sebuah pertanyaan manis kenapa orang selalu berebut menjadi Bupati. Pasalnya, dari dulu kedudukan politik tertinggi di tingkat Kabupaten ini dipandang sangat terhormat.
Adalah seorang Imam Al- Ghazali, ahli fikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajauan, yang juga dikenal seorang teoritis politik Islam klasik.
Dalam bukunya Nasihutul Muluk, Al-Ghazali mengatakan bahwa Tuhan mengirim para Nabi dan memberi mereka wahyu. Begitu pula Tuhan menegirim rara raja dan memberikan mereka “kekuatan Ilahi”. Sebagaimana Negara dan agama, raja dan Nabi adalah dua anak kembar yang lahir dari ibu yang sama. Tak heran jika banyak yang berebut untuk menjadi “ orang yang dikirim” Tuhan itu.
Ibnu Khaldun dalam karya besarnya (magnum opus-nya) Muqaddimah, dengan sangat
menarik mengatakan “ kedudukan raja (baca: Bupati) adalah kedudukan yang terhormat dan diperebutkan, karena memberikan kepada orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi, dan juga kepuasan lahir dan batin yang luar biasa.
Jarang sekali dilepaskan secara sukarela, sebaliknya selalu di bawah paksaan” Demensi kehormatan, kekayaan, dan kepuasaan lahir batin itulah agaknya yang paling dominan dalam menjadikan orang merebut.
Untuk kasus Banyumas perebutan ini sungguh unik. Belum ada figurnya yang diusung baik Calon Bupati maupun Calon Wakil Bupati, sejumlah Parpol sudah mendeklarasikan secara terbuka (Jawa: blaka suta), terus terang, dan tanpa tedeng aling-aling, dengan menamakan diri Deklarasi
Koalisi Banyumas Maju, tanggal 10 Juli 2024 di Pendopo Sanggar Seni Budaya, Desa Dawuhan, Kecamatan Banyumas (Joko Kaiman).
Jangankan figur yang kapabel, yang jelas-jelas incapable pun matut-matut diri (jawa: jinjit-jinjit) merasa bisa. Kedudukan yang beraura keagungan ini telah menjadikan semua politisi (bukan hanya politisi partai) selalu rumangsa bisa dan bukannya bisa rumangsa.
Deklarasi tanpa figur yang diusung menurut hemat penulis bukan hanya tidak taktis, melainkan juga tidak cerdas. Analisis yang pesimis tentang Deklarasi Koalisi Banyumas Maju. Sebagai realitas media, figur itu penting sebagai faktor untuk menciptakan image bagi koalisi, dan itu sebuah advertising yang bagus lho.
Dalam perspektif ini adalah normal jika jumlah pesaing Sadewo segudang. Karena pada dasarnya setiap politisi adalah sama, ingin menjadi Bupati. Yang membedakan
cuma mengekspresikannya. Ada yang sembunyi-sembunyi, malu-malu kucing, dan pura-pura tidak mau padahal hatinya mau. Kalau ditanya jawabannya klise: ‘saya tidak punya ambisi, tapi kalau dipercaya rakyat insya Allah saya siap melakasanakan tugas untuk Banyumas Maju’. (he..he he, janji manis bener).
Berterus terang dalam Deklarasi Koalisi Banyumas Maju, rasanya tidak ada yang paling fenomenal karena tidak ada figur yang diusung, tapi dinyatakan deklah KBM resmi terbentuk, untuk sekedar hiburan kita membaca tulisan kan ada bagusnya juga.
Kecuali figur Sadewo sendiri mamang terus terang dan terang terus. Dan penulis bukan ahli prediktif yang akan menjadi penantang Sadewo dalam pemilihan Bupati yang akan kita ketahui akhir bulan Agustus 2024 nanti.
Perjodohan Sadewo- Lintarti.
Sayang Deklarasi Koalisi Banyumas Maju itu bukan memilih Calon Bupati dan Wakil Bupati,. Itu hanya dinamikanisasi dan dinamisasi politik lokal, sebuah forum yang namanya saja membuat orang terkecoh, apapun namanya, forum itu sangat politis dan penuh ekspektasi serta untuk “menjodohkan” siapa dengan siapa? sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati.
Sungguh, sebagai politisi kelas teri yang masih kering penulis iri pada KBM yang telah deklarasi, akankah kokoh dan solid ataukah bubar
sebelum pendafatarn di KPU Banyumas, mestinya penulis yang diusung, biar penulis jadi Bupati Banyumas, dan dikira berpengaruh luas kayak petinggi Parpol tertentu.
Statemen cerdik ini laksana pisau bermata dua : di satu sisi menguji asumsi adanya perpecahan di tubuh lawan politiknya yang utama, yaitu PKB dengan calon wakil
Bupatinya Lintarti. Dan dipihak lain PKB semunya excuse Lintarti menjalin koalisi dengan PDI-Perjuangan. Meminjam Motto Ganefo yani ‘Onward! No Retreatl (Maju terus Pantang Mundur), menuju kekuasaan meski hanya satu orang saja (just one
person) yang tidak tulus. Atau bahasa Ponpesnya : “Kulluhum yuayyiduun illa wahidun
yuarid” (semuanya mendukung kecuali satu (orang) yang menolak (oposisi).
Sementara, petinggi person itu sendiri benar-benar kehilangan raison d’etre bagi eksistensinya. Dalam analisa membuktikan bahwa faksi pendukung Lintarti lah koalisi
politik dalam bentuk “perjodohan Sadewo” yang memiliki akseptabilitas lebih luas; dan keluar menunjukkan kesungguhan PKB sebagaimana jargonnya“ Maju Tak Gentar, Membela Yang Benar dalam penegertian yang sebenarnya.
Apa yang dipaparkan diatas mengisyaratkan bahwa promosi seperti produk deklarasi Koalisi tanpa musyawarah sepakat dari internal Parpol ter tentu, maka itu merendahkan martabat Parpol itu sendiri, menjadi warga Parpol yang tidak bertanggungjawab atas
jabatan dan sistem demokrasi. Termasuk bertindak irasional, membela sesuatu yang di
mata warga parpol salah, namun yang penting membela yang bayar, maka itu without conscious merendahkan diri sendiri karena hanya tahu pembenaran tapi buta terhadap kebenaran.
Penulis tegaskan, seorang Ketua Parpol sangat rugi yang Maju Tak Gentar Membela yang Bayar padahal kesendirian. Meski lazim disebut sebagai simbol partai, akan tetapi simbol itu jangan mempromosikan barang atau kebijakan yang busuk. Perlu
penulis memberikan contoh sekaligus ingatkan kepada seluruh Ketua Parpol se-Kabupaten Banyumas, mengenai tujuan khusus Partai Politik yang tertera dalam UU
No.2/2011 Ttg Perubahan atas UU No.2/2008 Ttg Parpol “Bahwa tujuan khusus Partai adalah : “Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan”. Frasa tersebut, dapat dimaknai jika seorang ketua bertindak sendiri atas kemauan sendiri, mengeluarkan kebijakan busuk sendiri adalah bertentangan dengan ketatanegaraan yang baik, karena dikualifisir merendahkan peran organisasi, keanggotaan dan kaderisasi (OKK).
Tolehan publik terhadap tindakan seseorang itu dapat klasifikasi kehendak sendiri, bukan kehendak kolegial kolektif’. Namanya saja Dewan Pimpinan (DPD.DPC) ada
Ketua, Sekertaris, dan Bendahara (KSB) dan fungsionaris lainya. Artinya apa, tindakan seorang ketua atas kemauan sendiri tidak bisa mempengaruhi pengurus lainnya hingga anggota pada tingkat grassroot untuk mengikuti jejaknya terutama soal pilihan figur Cabup-Wacabup.
Karena kebijkan sendiri itu kebijakan yang busuk.
Namun ada satu aspek lain yang harus disimak, yaitu Banyumas ini banyak orang pintar tapi sedikit sekali sumber kepemimpinan. Mereka cuma berani pasang Baliho,
tetapi sebenarnya mereka ini masih malu-malu kucing maka agak memalukan juga jika kita paksakan menganalisisnya.
Dan penulis keberatan untuk menulis nama-nama mereka dalam tulisan ini. Sebab, seorang pemimpin biasanya dipilih karena kebijakan-kebijakan yang
imaginative, retorikanya yang membangkitkan semangat, dan visinya untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih baik. Tuhan, siapa gerangan “yang Engkau kirim” kepada Banyumas untuk pesaing Sadewo.
Oleh : Suradi Al Karim
Penulis : Praktisi Hukum, Pengamat Kebijakan Publik Daerah dan Politik Lokal