JAKARTA, Badan Akuntabilitas dan Keuangan Negara (BAKN) DPR RI melakukan kunjungan kerja ke Papua Barat dalam rangka penelaahan BAKN terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) terkait permasalahan di Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Dalam kunjungan kerja ini, BAKN DPR RI melakukan pertemuan dengan Kantor BPK Perwakilan, Kantor Pertanahan (Kanwil BPN) dan Pemda Provinsi Papua Barat.
Wakil ketua BAKN, Anis Byarwati, menyampaikan beberapa pandangannya dalam kunjungan kerja tersebut. Pertama, anggota komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS ini mengatakan bahwa Indonesia menganut system pertanahan dan publikasi negative dimana peran negara sangat minim untuk menjamin kebenaran data yang disajikan. Karena system ini, maka banyak sengketa agraria yang terjadi dan tak kunjung usai. Ini dikarenakan, siapapun dapat diakui oleh negara sebagai pemilik tanah jika dia mampu menunjukkan bukti kepemilikan tanah itu.
Dengan adanya Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang menggunakan system elektronik, sesungguhnya bisa mengarahkan publikasi negative menjadi publikasi positif. Dalam sistem PTSL, negara mengeluarkan sertifikat dengan system elektronik.
Anis menyayangkan system PTSL yang dalam prosesnya, tidak selalu berjalan mulus. Mengutip laporan BPK tentang permasalahan ATR/BPN, masih terdapat berbagai permasalahan dalam proses PTSL diantaranya pelaksanaan pengelolaan data belum memadai, pelaksanaan pengelolaan data yuridis belum memadai, pencatatan dan pelaporan data atas BPHTB dan PPH terutang tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya, sertifikat yang telah selesai belum diserahkan kepada pemohon, permasalahan pasca sertifikasi asal belum diselesaikan secara memadai.
“Saya sangat memahami, jika permasalahan di daerah-daerah yang memiliki kelengkapan elektronik saja masih berjalan belum baik, apalagi di daerah yang penunjang system elektroniknya masih terbatas seperti Papua Barat,” ungkapnya.
Selain itu, Ketua Bidang Ekonomi dan Keuangan Negara DPP PKS ini juga menyoroti belum terbentuknya Gugus Tugas Reformasi Agraria (GTRA) di Papua Barat yang menjadikan Papua Barat belum memiliki peta permasalahan pertanahan. Menurut Kanwil BPN, mereka hanya menerima laporan kasus sehingga jika tidak ada laporan maka permasalahan pertanahan tidak ada yang menangani atau mendalami masalahnya. Audit yang dilakukan oleh BPK pun hanya terkait dengan pelaporan keuangan.
Hal ini disayangkan Anis, mengingat Papua Barat merupakan salah satu wilayah yang banyak dilirik pengusaha. Sementara itu, jika ada permasalahan sengketa pertanahan, biasanya pengusaha akan berhadapan dengan masyarakat.
Menutup pandangannya, politisi perempuan senior PKS ini mengatakan catatan dari kunjungan kerja ke Papua Barat ini menjadi penting. Karena daerah paling ujung Indonesia yaitu Papua Barat, belum mendapatkan haknya untuk diurus.
“Pemerintah pusat perlu melakukan perbaikan dalam menampung informasi dan mengelola daerah-daerah yang jauh dari pusat, karena mereka memiliki hak yang sama untuk maju dan berkembang sebagaimana daerah-daerah lainnya,”pungkasnya.