JAKARTA, Ketua kelompok komisi IV (Kapoksi IV) dari Fraksi PKS DPR RI drh. Slamet mengaku geram dengan sikap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menolak membeberkan data lengkap terkait penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai prosedur di sejumlah provinsi di tanah air.
Pasalnya diawal masa sidang tahun 2022 kementerian yang di nakhodai oleh Situ Nurbaya tersebut berjanji akan memberikan data perusahaan-perusahaan pemegang konsensi bermasalah tersebut kepada komisi IV DPR RI, namun kenyataannya hingga saat ini KLHK belum menyampaikan data-data yang sudah menjadi kesimpulan rapat tersebut kepada komisi IV DPR RI.
“Dari laporan yang kami terima akibat penggunaan kawasan hutan yang tidak sesuai prosedur di 8 provinsi telah merugikan negara sebesar 362,6 triliun rupiah, sehingga sudah sepantasnya kami meminta KLHK untuk menyampaikan nama-nama perusahaan pemegang konsensi ataupun izin pemanfaatan hutan tersebut kepada kami,” ungkap Slamet di Jakarta, Senin (7/2/2022).
Ia pun merinci bahwa dalam laporan KLHK saat RDP, menunjukkan telah terjadi penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural pada areal kebun seluas 8,46 juta hektar dan 8,713 Hektar areal pertambangan yang berpotensi merugikan negara triliunan rupiah.
Sehingga komisi IV DPR RI meminta KLHK untuk menyampaikan data mengenai nama-nama perusahaan yang bertanggung jawab atas lahan hutan tersebut. Namun hingga waktu yang ditentukan KLHK tidak kunjung memberikan data-data tersebut. Hal inilah yang memicu fraksi PKS memilih walkout dari Rapat dengar pendapat bersama KLHK pada hari Selasa (25/1) lalu.
“Saya ingatkan kepada KLHK jika data-data tersebut tidak diserahkan ke komisi IV maka kementerian bisa dianggap melanggar pasal 28 huruf c UU no 18 tahun 2013 yaitu melindungi pelaku penggunaan kawasan hutan secara tidak sah dengan ancaman pidana 1 tahun hingga 10 tahun penjara dan denda mulai dari 1 M hingga 10 Miliar rupiah. Dan jika melanggar seharusnya Menteri KLHK Mundur dari dari jabatannya,” tegasnya.
Politisi senior PKS ini juga menyampaikan bahwa praktik-praktik pemanfaatan hutan seperti ini sangat marak terjadi di Indonesia, negara sepertinya kalah kepada investor sehingga demi menjaga iklim investasi peraturan di terabas, hak-hak masyarakat dirampas, ujung-ujungnya negara juga yang dirugikan. Iapun mengungkapkan bahwa pihaknya menunggu gebrakan dari para penegak hukum di negeri ini, kerugian sudah sangat jelas didepan mata.
Terlalu banyak peraturan perudangan yang dilanggar oleh para pelaku tersebut, misalnya Pasal 50 UU Kehutanan pasal 1 dan 2 dengan sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) untuk pasal 1 dan pasal 2 paling banyak 7,5 Miliar rupiah.
Belum lagi pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja revisi dari UU nomor 18 tahun 2013 yang semakin memberatkan pengurus korporasi/perusahaan pelaku penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yaitu pidana penjara antara 5-15 tahun dan denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah) dan khusus untuk korporasinya ditambah 1/3 dari pidana dan denda yang dijatuhkan.