Oleh: Neno Salsabillah
(Aktivis Muslimah)
Gelombang teknologi informasi yang menghantam dunia tak ubahnya pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan kemudahan akses ilmu tanpa batas. Namun di sisi lain, ruang digital kini telah bermetamorfosis menjadi “medan perang” pemikiran yang perlahan tapi pasti melumpuhkan akal sehat generasi muda kita.
Fenomena ini bukan isapan jempol belaka. Kita sedang menghadapi ancaman serius berupa lahirnya generasi yang mengalami split personality: beridentitas muslim, namun memiliki pola pikir dan gaya hidup yang sekuler, liberal, bahkan rapuh secara mental akibat paparan konten sampah.
Angka yang Berbicara
Realitas di lapangan sangat meresahkan. Ruang digital kita dipenuhi oleh cyberbullying, pornografi, pinjaman online (pinjol), hingga judi online (judol) yang menyasar anak di bawah umur.
Merujuk pada data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2024, Indonesia sedang darurat judi online di kalangan pelajar. Tercatat lebih dari 197.000 anak terlibat aktivitas haram ini dengan nilai transaksi yang fantastis [1]. Tak hanya itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat peningkatan kasus kejahatan berbasis siber, termasuk perdagangan orang (trafficking) dan eksploitasi seksual yang bermula dari media sosial [2].
Fakta ini adalah alarm keras: anak-anak kita sedang tidak aman, bahkan di dalam kamar mereka sendiri.
Absennya Peran Negara
Mengapa konten merusak ini begitu mudah menjangkau gawai anak-anak kita? Analisis mendalam menunjukkan bahwa ini bukan sekadar masalah teknologi, melainkan masalah ideologi. Sistem sekuler yang dianut saat ini memisahkan aturan agama dari kehidupan publik, termasuk dalam pengaturan ruang digital.
Dalam kacamata sekularisme, industri digital sering kali hanya diukur dari nilai ekonomi (cuan). Aturan moderasi konten yang ada cenderung lambat dan reaktif—baru bertindak setelah ada korban atau viral. Negara seolah gagal hadir menciptakan ekosistem yang aman. Akibatnya, generasi muda dibiarkan bertarung sendirian melawan algoritma yang dirancang untuk membuat kecanduan pada hal-hal yang nirfaedah.
Solusi Islam: Negara sebagai Perisai
Lantas, bagaimana jalan keluarnya? Islam menawarkan konsep perlindungan generasi yang fundamental, bukan sekadar tambal sulam.
Pertama, Islam menempatkan negara (Khilafah) sebagai ra’in (pengurus) dan junnah (perisai).
Rasulullah SAW bersabda:
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Sebagai perisai, negara wajib menyaring ketat konten yang masuk ke ruang publik. Dengan teknologi tercanggih, negara akan memblokir situs-situs porno, judi, dan konten ateisme/liberalisme sebelum sempat dikonsumsi rakyat. Ruang digital justru akan dimaksimalkan sebagai sarana edukasi dan penguat dakwah.
Kedua, penerapan syariat Islam secara kaffah. Sistem sanksi dalam Islam akan memberikan efek jera bagi para pelaku industri maksiat digital, baik itu bandar judol maupun penyebar pornografi.
Sudah saatnya kita menyadari bahwa menyelamatkan generasi tidak cukup dengan “pengawasan orang tua” semata. Kita membutuhkan kehadiran negara yang bervisi akhirat, yang menerapkan syariat Islam untuk membersihkan ruang digital dari sampah peradaban, demi lahirnya generasi emas yang tangguh dan bertakwa. Wallahu A’lam Bisowab













