Oleh: Wildan Fathurrahman
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi F-PKB
SILUMANEWS.COM – Kamis, 23 Oktober 2025 – Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa ini memperingati Hari Santri Nasional. Tapi bagi saya, ini bukan sekadar tanggal di kalender — ini adalah hari mengenang ruh perjuangan, hari ketika kita menundukkan kepala dan bertanya: sudahkah semangat santri itu hidup dalam diri kita hari ini?
Santri bukan hanya mereka yang berkopiah dan bersarung. Santri adalah siapa pun yang meneladani nilai-nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan pengabdian. Karena sejak awal berdirinya republik ini, santri telah menulis sejarah dengan tinta perjuangan.
Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang menetapkan Hari Santri bukan hadiah, melainkan pengakuan terhadap fakta sejarah: Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari dan para ulama, adalah bahan bakar moral bagi pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Di Surabaya, para santri tak gentar melawan pasukan bersenjata dengan tekad yang lebih kuat dari baja — iman.
Saya bersyukur pernah menempuh jalan panjang di tiga pesantren: Cipulus Purwakarta, Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, dan Azzainiyyah Sukabumi. Di tempat-tempat itu saya belajar bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, tapi cahaya. Dan cahaya itu tak akan memancar jika hati tidak bersih.
KH. Hasyim Asy’ari dalam Adab al-‘Alim wal-Muta‘allim menulis: “Barang siapa memuliakan ilmu dan ahlinya, maka Allah akan meninggikan derajatnya di dunia dan di akhirat.” Dari pesantren, lahir para pendidik, pemimpin, bahkan negarawan. Santri mengajarkan kita bahwa kemajuan tidak lahir dari kemewahan, tapi dari kesungguhan dan ketulusan.
Menurut data Kementerian Agama tahun 2024, Indonesia kini memiliki lebih dari 40.000 pesantren dan 5 juta santri. Jumlah itu bukan kecil — tapi yang lebih besar adalah kontribusi moral yang mereka berikan. Namun, kita juga harus jujur: tidak semua pesantren hidup dalam kenyamanan. Masih banyak pesantren di pinggiran yang kekurangan fasilitas, minim dukungan, dan bertahan dengan swadaya masyarakat.
Kota Bekasi, tempat saya berkhidmat hari ini, adalah kota yang dinamis — kota industri, urban, dan multikultur. Namun di balik gedung-gedung tinggi dan jalanan sibuk, masih banyak pesantren berdiri tegak, menjadi penyejuk di tengah panasnya kota.
Bekasi telah melangkah maju dengan adanya Peraturan Daerah tentang Pesantren. Ini langkah luar biasa — tidak banyak kota yang punya perda semacam ini. Namun, jujur harus diakui: implementasinya belum berjalan optimal. Banyak pesantren belum merasakan dampak nyata. Padahal bila perda ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, dampaknya akan luar biasa: pesantren bisa menjadi mitra pembangunan, pusat pembinaan moral, dan motor pemberdayaan ekonomi umat.
Hari Santri seharusnya menjadi momentum untuk menyalakan kembali komitmen antara pesantren dan pemerintah daerah. Bekasi bisa memulai dengan beberapa langkah konkret:
1. Jalankan Perda Pesantren dengan peta jalan yang jelas.
2. Bentuk Santri Digital Center untuk literasi dan dakwah di dunia maya.
3. Bangun Eco-Pesantren di Bantargebang.
4. Kembangkan kemitraan UMKM Santri.
5. Gelar Festival Santri Bekasi.
Imam Al-Ghazali pernah berkata: “Agama dan kekuasaan adalah saudara kembar; agama pondasinya, kekuasaan penjaganya.” Kata-kata itu mengingatkan kita bahwa kemajuan tanpa moral adalah kehampaan. KH. Wahid Hasyim juga pernah berpesan: “Santri tidak boleh menjadi penonton di tanah airnya sendiri.”
Hari Santri bukan hanya seremoni, tapi cermin untuk bercermin. Pemerintah Kota Bekasi perlu memastikan bahwa Perda Pesantren dijalankan dengan niat yang tulus dan arah yang jelas. Karena dari pesantren, masyarakat belajar arti tanggung jawab dan kejujuran — nilai yang sedang mahal di dunia birokrasi.
Sebagai alumni tiga pesantren, saya membawa nilai-nilai itu ke dalam pengabdian saya hari ini. Nilai kesederhanaan, tanggung jawab, dan kerja ikhlas harus hadir dalam setiap langkah kita membangun kota. Santri adalah lentera. Lentera tidak menuntut tempat tinggi, tapi selalu berusaha memberi cahaya ke sekitarnya.
Hari Santri bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dilanjutkan. Santri adalah penjaga nurani bangsa, termasuk nurani Kota Bekasi. Karena dari pesantren, cahaya itu menyala. Dan dari santri — insyaAllah — masa depan Bekasi akan terus bersinar dengan keberkahan, keadilan, dan keteladanan.













