SILUMANEWS.COM – JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani secara resmi telah menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2023 yang secara umum memuat beberapa agenda penting pembangunan pada tahun 2023 mendatang diantaranya:
- Dampak risiko global terhadap perekonomian domestik perlu diantisipasi karena akan mendorong inflasi domestik dan menurunkan konsumsi masyarakat, sementara ketatnya kebijakan moneter akan mengakibatkan naiknya bunga utang (cost of fund) bagi APBN dan juga korporasi.
- Peran APBN sebagai shock absorber akan dioptimalkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi dan melindungi masyarakat.
•Dampak tingginya harga komoditas tidak dibebankan kepada harga domestik (administered price)
• Kecukupan bahan pangan dan energi akan dijaga termasuk kesehatan keuangan badan usaha dalam menjaga stabilitas harga energi dalam negeri. - Kenaikan harga minyak dunia berdampak pada peningkatan di sisi pendapatan negara dan juga beban belanja negara (belanja subsidi, kompensasi, peningkatan perlinsos, mandatory spending, dan Dana Bagi Hasil).
- Alokasi anggaran pada APBN Tahun 2022 tidak dapat berjalan secara efektif dalam mempertahankan daya beli masyarakat dan menjaga pemulihan ekonomi karena keterbatasan pagu untuk tambahan kebutuhan subsidi dan kompensasi BBM dan listrik serta penebalan Perlinsos.
- Dukungan dari DPR khususnya Badan Anggaran sangat dibutuhkan bagi kebijakan fiskal dalam merespon dampak kenaikan harga komoditas dalam rangka menjaga momentum pemulihan ekonomi, perlindungan kepada masyarakat dan mencegah terjadinya pemburukan kondisi ekonomi makro dan keuangan.
Menanggapi hal tersebut, ketua kelompok komisi IV DPR RI dari fraksi PKS drh. Slamet beranggapan bahwa kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang disampaikan kemenkeu masih belum sepenuhnya mendukung ketahanan pangan nasional.
Menurutnya, dalam laporan lengkap yang ia terima terdapat 4 parameter utama yang menggambarkan lemahnya orientasi ketahanan pangan nasional yaitu:
Pertama, pagu indikatif 3 kementerian mitra komisi IV yaitu kementerian pertanian, kementerian kelautan dan perikanan serta kementerian lingkungan hidup dan kehutanan tidak mengalami kenaikan bahkan khusus untuk kementan justru mengalami penurunan dari 14,45 T tahun 2022 menjadi 13,75 T pada pagu indikatif tahun 2022. Kondisi ini tentu sangat kontraproduktif bila dibandingkan dengan kontribusi bidang pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional khususnya pada saat menghadapi pandemic covid-19.
Kedua, ancaman ketahanan pangan yang disebabkan oleh faktor global juga perlu menjadi perhatian serius. Kenaikan harga gandum global yang diprediksi menyentuh angka tertinggi juga menjadi sinyal penting bagi ketahanan pangan nasional mengingat indonesia adalah Importir gandum terbesar didunia jika tak ada kebijakan serius dari pemerintah kenaikan harga gandum ini berpotensi mengerek harga pangan dalam negeri.
Ketiga, ancaman penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak adalah salah satu dari sekian ancaman global yang sedang menggembosi ketahanan pangan nasional. Ia menyoroti lemahnya peran karantina nasional dalam pencegahan merebaknya penyakit yang telah dinyatakan punah di Indonesia ini sejak tahun 1986.
Menurut politisi senior PKS ini terdapat dua kemungkinan lemahnya mekanisme karantina nasional adalah pertama, karena secara struktur karantina masih dianggap “kelas 2” jika dibandingkan dengan bea dan cukai sehinga keberadaan badan karantina hanya menjadi formalitas, yang kedua, adanya potensi lemahnya karantina nasional karena dilemahkan oleh “pelaku bisnis”. Sistem karantina sangat mudah ditembus apabila sudah terkait dengan kepentingan bisnis para penguasa.
Keempat, terkait subsidi pangan yang masih hanya berkutat pada subsidi pupuk (input), padahal disisi lain ada opsi terkait subsidi harga (output) yang secara teoritis lebih berkeadilan mengingat gagalnya pelaksanaan subsidi pupuk selama beberapa tahun belakangan ini.
Subsidi pupuk juga menunjukkan kebijakan pemerintah hanya berorientasi pada produksi semata sementara kesejahteraan petani masih terkesampingkan. Meskipun secara nilai NTP dan NTN mengalami kenaikan namun jika melihat datanya Kenaikan NTP tertinggi terjadi pada sub sektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 16,0 poin dan terendah sub sektor tanaman pangan yang turun sebesar 3,2 poin. Artinya kesejahteraan pelaku usaha pertanian sektor pangan mengalami penurunan.
Terakhir, Ketua Perhimpunan Petani Nelayan seluruh Indonesia (PPNSI) ini menyampaikan meskipun kementerian keuangan bukan merupakan mitra kerja langsung komisi IV DPR RI, ia berharap agar masukan-masukan yang disampaikan dapat menjadi perbaikan perencanaan penguatan ketahanan pangan nasional kedepannya. (*)