JAKARTA – Presiden Joko Widodo saat memberikan pengarahan tentang Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia (BBI) di Bali pada Jumat (25/3/2022), terlihat sangat marah kepada instansi pemerintah yang masih melakukan sejumlah impor barang. Padahal, menurutnya, barang-barang tersebut masih bisa diproduksi di dalam negeri.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS drh. Slamet mengatakan bahwa apa yang diungkapkan presiden tersebut adalah bentuk frustasi atas ketidakmampuannya dalam mengelola negara. Hal itu juga sekaligus menunjukkan lemahnya leadership, karena
kesalahan tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada anak buah.
Ia juga mengungkapkan bahwa persoalan impor ini adalah hal yang wajar sejak 7 tahun presiden berkuasa sehingga presiden tidak perlu membuat gimmick terkejut. Salah satu yang dipersoalkan Jokowi adalah alat-alat pertanian yang tidak memiliki teknologi tinggi namun tetap saja didatangkan melalui impor.
Slamet menegaskan seharusnya presiden mempertanyakan ke diri sendiri berapa anggaran riset dan pengembangan teknologi yang sudah digelontorkan pemerintah untuk menghasilkan teknologi-teknologi yang aplikatif?
Menurut data, sejak tahun 2015 anggaran Kementerian Pertanian terus mengalami penurunan mulai dari Rp30 triliun hingga tahun 2022 turun menjadi Rp15 triliun yang hanya sekitar 5 persen anggarannya dialokasikan untuk riset dan pengembangan.
Selain itu, data Royal Society tahun 2020 menunjukkan proporsi anggaran riset dan pengembangan terhadap Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia hanya 0,31 persen jauh di bawah Malaysia yang mencapai 1,29 persen dan singapura 2,64 persen dari PDB.
Persoalan lainnya adalah kurangnya pemanfaatan inovasi yang dihasilkan oleh litbang pemerintah, swasta ataupun perguruan tinggi, menyebabkan Indonesia dibanjiri produk impor dengan teknologi negara lain.
“Padahal teknologi negara lain serupa dengan hasil riset yang dikembangkan perguruan tinggi, litbang pemerintah ataupun swasta di Indonesia,” kata Slamet.
Slamet mencontohkan beberapa alat pertanian seperti hand tracktor, sesungguhnya bisa dibuat.
“Jadi tidak mengherankan banyak produk teknologi pertanian yang beredar di Indonesia adalah produk impor karena memang kebijakan liberalisasi perdagangan ini semakin terbuka lebar akibat kebijakan pemerintah sendiri. Sehingga tidak perlu presiden membuat gimmick seolah-olah kesal dengan impor tapi di sisi yang lain kebijakannya sangat pro terhadap impor baik teknologi maupun komoditas pertanian,” katanya.